December 10, 2025

Membaca Kepentingan Dua Adidaya di Kawasan Ini

 

Oleh Harmen Batubara

Di Asia, dunia seakan memasuki babak baru ketegangan geopolitik.
Sengketa China dan Jepang di Laut Cina Timur, benturan Thailand–Kamboja di perbatasan, serta memanasnya kembali konflik di Laut Cina Selatan, bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Semuanya adalah bagian dari perubahan besar yang sedang terjadi di kawasan: pertarungan kepentingan antara dua adidaya — Tiongkok dan Amerika Serikat.

Tiongkok: Mengamankan Pengaruh & Ruang Strategis

Tiongkok tengah berusaha mengamankan apa yang mereka anggap sebagai “wilayah kepentingan vital.”
Dengan ekonomi yang melambat, Tiongkok semakin agresif menunjukkan kekuatan militernya untuk memastikan:

  • akses laut tetap terbuka,
  • jalur dagang aman,
  • negara-negara tetangga tetap berada dalam orbit pengaruhnya,
  • dan proyek besar seperti Belt and Road tetap berjalan.

Di mata Tiongkok, setiap langkah negara lain di kawasan — termasuk Jepang yang memperkuat militernya, ASEAN yang kian dekat ke Barat, dan aktivitas angkatan laut Amerika — terlihat sebagai tekanan yang harus ditanggapi.

Amerika Serikat: Menjaga Dominasi & Menahan Pengaruh Tiongkok

Di sisi lain, Amerika Serikat juga sedang menghadapi pelemahan ekonomi dan tekanan politik dalam negeri. Tetapi satu hal tidak berubah:
AS tidak ingin kehilangan pengaruh di Asia.

Kawasan Asia dianggap:

  • titik terpenting ekonomi dunia,
  • jalur perdagangan internasional,
  • dan tempat di mana masa depan geopolitik global akan ditentukan.

Itu sebabnya AS memperkuat aliansi di Asia:

  • mendukung Jepang,
  • menambah latihan militer dengan Filipina, Korea Selatan, dan Australia,
  • serta berusaha mendorong stabilitas agar negara-negara ASEAN tetap berpihak (atau setidaknya tidak mendekat ke Tiongkok).

Ketegangan Kawasan: Efek Domino Persaingan Global

Karena dua kekuatan besar ini saling mengawasi dan SAMA-SAMA sedang dalam tekanan ekonomi, setiap insiden regional menjadi lebih sensitif:

  • Jepang dan China berselisih → dianggap bagian dari perebutan pengaruh maritim.
  • Thailand dan Kamboja memanas → kekosongan stabilitas memberi ruang intervensi diplomatik adidaya.
  • Laut Cina Selatan kembali tegang → jalur strategis yang diperebutkan kedua kubu.

Tidak semua konflik ini dipicu oleh AS atau Tiongkok, tetapi semuanya ikut membesar karena ketidakpastian global.

Eropa: Amerika Ingin Perang Ukraina Segera Berakhir

Di Eropa, Amerika justru ingin perang Rusia–Ukraina segera mereda.
Mengapa? Karena Washington tidak ingin terjebak dalam dua teater konflik sekaligus:

  • satu di Eropa Timur,
  • satu di Asia Pasifik.

AS mulai menyadari bahwa masa depan perebutan kekuatan global ada di Asia, bukan lagi di Eropa.
Dengan kata lain, Amerika ingin mengalihkan energi, dana, dan perhatian ke Asia untuk menghadapi Tiongkok.

Jadi… Apa yang Sebenarnya Tengah Terjadi?

Kita sedang melihat pergeseran pusat gravitasi politik dunia dari Barat ke Asia.
Dan di tengah pergeseran itu, dua adidaya — Tiongkok dan Amerika Serikat — sedang mengukur kekuatan, menata ulang pengaruh, dan mencoba mempengaruhi arah masa depan kawasan.

Akibatnya:

  • Konflik kecil tampak lebih besar.
  • Gesekan lama muncul kembali.
  • Pergerakan militer menjadi lebih sering.
  • Dan setiap negara di Asia harus pintar menyeimbangkan diri, agar tidak terseret ke perang dingin versi baru.

Dunia Sedang Menuju Arah Mana?

Jawabannya:
Menuju periode ketidakpastian yang panjang, di mana ekonomi melemah, politik global naik turun, dan persaingan kekuatan besar semakin keras.

Namun di balik semua itu, negara-negara Asia — termasuk Indonesia — punya peluang untuk menjadi penengah, stabilisator, dan kekuatan penentu arah kawasan jika mampu menjaga keseimbangan diplomasi.

 






December 5, 2025

Bersama KDM Membangun Rasa Persaudaraan Lewat Bantuan ke Daerah Bencana

 

Oleh


Harmen Batubara

Ketika banjir bandang dan Siklon Senyar menghantam Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh—melenyapkan rumah, memutus transportasi, dan merenggut ratusan nyawa, meninggal 836 Orang, 518 Hilang—Indonesia kembali diingatkan bahwa kita adalah satu keluarga besar yang tinggal di tanah yang sama, dan memikul duka yang sama.

Bencana ini bukan milik satu daerah. Ini luka kita bersama.

Di tengah situasi yang mengguncang itu, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), tampil bukan hanya sebagai pemimpin daerah, tetapi sebagai sosok yang menggugah rasa kemanusiaan seluruh bangsa. Pada 1 Desember 2025, KDM menyerukan ajakan sederhana namun penuh makna:

“Mari kita bersatu padu, bergandengan tangan, meringankan beban sesama.”

Ajakan itu bukan sekadar kata-kata. Ia menggerakkan pemerintah daerah Jawa Barat, memulai gerakan kemanusiaan, dan membuka ruang partisipasi publik. Warga diajak berbagi apa pun yang mereka mampu: makanan, pakaian, logistik, obat-obatan—atau bahkan doa untuk kekuatan para korban.

Langkah Nyata di Tengah Derita

Pada 4 Desember 2025, KDM tiba langsung di Kota Padang. Ia tak datang sebagai pejabat yang hanya melihat dari jauh—ia hadir sebagai saudara yang ingin menghapus sedikit luka.
Dalam safari kemanusiaannya, ia memastikan bantuan tidak hanya terkumpul, tetapi juga tepat sasaran.

KDM bahkan membawa dua pesawat Susi Air, masing-masing berkapasitas satu ton per penerbangan, untuk menjangkau daerah-daerah terisolasi. Sementara itu, truk-truk besar di darat sudah disiapkan untuk menyalurkan bantuan ke titik-titik kritis di Sumbar, Sumut, dan Aceh.

Namun langkah terbesarnya adalah komitmen ini:

Membangun satu kampung hunian baru bagi warga yang kehilangan rumah.

Sebuah janji yang tidak hanya menawarkan bantuan darurat, tetapi juga harapan untuk bangkit kembali.


Mengapa Ajakan Ini Penting?

Karena bencana bukan sekadar runtuhan bangunan atau jembatan yang putus—
bencana adalah hilangnya rasa aman, runtuhnya harapan, dan sunyinya masa depan.

Di titik itulah, persaudaraan menjadi cahaya terpenting.
Indonesia selalu kuat ketika berdiri bersama.

Mari Kita Bergerak Bersama

Setiap donasi, setiap kiriman barang, setiap tenaga relawan—sekecil apa pun—adalah bagian dari jembatan kemanusiaan yang sedang kita bangun. Seperti yang ditunjukkan KDM, kita tak boleh menunggu orang lain untuk memulai membantu.

Kini, saat Sumbar, Sumut, dan Aceh berjuang keluar dari reruntuhan, mari kita hadir sebagai saudara.
Sebagai satu bangsa.
Sebagai satu napas kemanusiaan.

Karena saat kita menolong sesama… Indonesia sesungguhnya sedang menolong dirinya sendiri.


November 27, 2025

Perang Rusia–Ukraina Dua Negara Bertetangga Tanpa Empati

 Oleh


Harmen Batubara

Perang Rusia–Ukraina adalah tragedi modern yang lahir dari persoalan lama: identitas, geopolitik, dan rasa saling curiga yang menumpuk selama puluhan tahun.
Namun pada akhirnya, peperangan ini membuktikan satu hal: dua bangsa yang berdekatan bisa berubah menjadi dua musuh tanpa empati—bahkan ketika sejarah, budaya, dan masa depan mereka saling bertaut.

Akar Luka: Identitas dan Geopolitik yang Terabaikan

Ketegangan ini bukan muncul tiba-tiba.
Keinginan Ukraina untuk menentukan arah historis dan politiknya—bergabung dengan Uni Eropa dan NATO—dipandang oleh Rusia sebagai ancaman keamanan langsung.

Puncaknya terjadi tahun 2013 melalui Revolusi Maidan, ketika rakyat Ukraina menolak tekanan Rusia dan memilih integrasi ke Barat.
Sebagai respon, Rusia mencaplok Krimea pada 2014, dan sejak saat itu garis retak hubungan kedua negara semakin melebar.

Berbagai perundingan—Minsk I, Minsk II, kontak diplomatik tak terhitung—selalu gagal.
Kedua pihak menginginkan keamanan, tetapi tidak menginginkan kompromi.
Hingga pada Februari 2022: Invasi dimulai. Perang meletus.

Pertempuran yang Menghancurkan Segalanya

Perang ini bukan sekadar benturan tank dengan artileri, bukan sekadar drone melawan rudal.
Ini adalah benturan nasib manusia.

Kota-kota Ukraina porak-poranda.
Pangkalan militer Rusia kehilangan ribuan prajurit di garis depan.
Desa, rumah sakit, sekolah, dan pabrik luluh lantak menjadi puing.

Serangan balasan demi balasan menciptakan lingkaran dendam tanpa akhir.

Di tengah suara bom, ada tangis yang tidak terdengar oleh dunia:
anak-anak yang terpisah dari orang tua,
para ibu yang kehilangan rumah,
para tentara muda—dari kedua negara—yang bahkan belum sempat memahami hidup sebelum dipaksa memahami kematian

Industri Pertahanan yang Terus Berputar

Perang bukan hanya menghancurkan; ia juga menghidupkan sesuatu yang tidak seharusnya hidup: industri persenjataan.

Di Rusia, pabrik amunisi bekerja 24 jam sehari.

Rudal diproduksi seperti roti hangat dari tungku.
Drone, tank, peluru—semua menjadi angka dalam tabel produksi, bukan lagi simbol kehancuran.

Di Ukraina, dukungan militer Barat mengalir deras.

Setiap paket bantuan berarti perpanjangan waktu bagi pertempuran.
Perang menjadi “proyek” global yang tak seorang pun tahu kapan akan selesai.

Ketika industri perang berputar, perdamaian kehilangan daya tawarnya.

Kerugian: Material, Emosional, dan Kemanusiaan

Tidak ada angka pasti yang disepakati dunia, tetapi 10 juta jiwa terdampak—entah terbunuh, terluka, mengungsi, atau kehilangan kehidupan normal mereka.
Setiap angka adalah seseorang yang tidak akan lagi pulang. Setiap statistik adalah keluarga yang hancur selamanya.

Kerugian material?
Tak terhitung.
Kota demi kota hilang dari peta.

Dan biaya perang?
Diperkirakan lebih dari 500 juta dolar AS per hari.
Setiap detik adalah uang yang tidak digunakan untuk rumah sakit, sekolah, pangan, atau masa depan.

Semua itu pada akhirnya menjadi utang besar yang harus dibayar oleh generasi berikutnya—generasi yang tidak pernah memilih perang, tetapi harus mewarisi akibatnya

Perang yang Memperlebar Jarak, Bukan Menyelesaikan Persoalan

Ironisnya, perang ini justru menjauhkan Rusia dan Ukraina dari apa yang mereka perjuangkan.

  • Persoalan identitas Ukraina kini semakin kuat: mereka ingin menjauh dari Rusia.
  • Kekhawatiran geopolitik Rusia semakin besar: NATO kini justru semakin solid.
  • Rasa saling percaya yang dulu rapuh kini hancur total.
  • Luka sosial di kedua negara semakin dalam, mungkin untuk beberapa generasi ke depan.

Perang tidak memberikan apa-apa selain kehancuran, kebencian baru, dan jarak yang semakin sulit dijembatani.
Dua negara bertetangga kehilangan empati satu sama lain, dan dunia menyaksikan bagaimana kedekatan sejarah bisa berubah menjadi jurang yang tak terlintasi

Penutup: Perang yang Tidak Pernah Layak Dibenarkan

Pada akhirnya, perang Rusia–Ukraina mengingatkan kita bahwa meski alasan awal mungkin tampak rasional—keamanan, identitas, geopolitik—hasil akhirnya selalu sama:
kehancuran yang tidak menghasilkan apapun.

Tidak ada kemenangan sejati.
Tidak ada kebanggaan dalam tumpukan puing.
Tidak ada masa depan yang lahir dari dendam.

Ketika kabar damai mulai terdengar hari ini, dunia berharap satu hal:
agar pada akhirnya dua bangsa yang pernah dekat ini belajar memulihkan empati yang hilang, karena tanpa empati, perdamaian hanya akan menjadi jeda—bukan solusi.